Little Voice Inside (Part 4 of 4)

Keesokan harinya aku terbangun dengan mata nyalang. Tanpa membangunkan Riza yang tertidur disampingku, aku melangkah ke kamar mandi. Di otakku menggelayut beban pikiran yang entah bagaimana harus kuhilangkan.

Ketika aku sedang memakai sepatuku, kulihat Riza telah berdiri menjulang di hadapanku dengan sepiring roti isi di tangannya.

“Good luck,” katanya seraya tersenyum menyemangatiku. Kurasa ia tahu keputusan apa yang telah kubuat, juga tindakan yang akan kuambil. I’m so glad this friend is mine.

“Thanks,” jawabku serta membalas senyumnya dengan beberapa tepukan dipunggungnya, lalu aku pun pergi.

Mas Riki sudah berada di meja kerjanya lengkap dengan kertas-kertas yang tersusun rapi di hadapannya. Ia melihatku memasuki ruang tunggu klinik dan seketika itu juga menyambutku dengan senyumannya yang menular.

“Pagi, Frans!” ucapnya keras, menggenggam tanganku dan mengguncangkannya.

“Pagi, Mas! Udah ada siapa aja di dalem?” tanyaku mencoba bersikap biasa saja walaupun dalam hati gelisah.

“Belum ada yang dateng, kok. Dokter Dion dapet giliran praktek sore, kalau Dokter Adam pagi tapi sampai sekarang belum datang. Macet mungkin,” jelas Mas Riki panjang lebar seraya kembali berkutat dengan kertas-kertas di hadapannya.

Aku merasa agak kecewa karena tidak menemukan Dokter Adam dengan segera. Kini aku harus menunggu dengan pikiran dan hati yang gelisah.

Beberapa saat kemudian yang terasa berabad-abad bagiku, mobil Dokter Adam terlihat memasuki area parkir klinik. Tidak seperti biasanya ia memakai mobil untuk berangkat ke kantor, biasanya ia memakai motor bebeknya yang sederhana untuk bekerja.

Ketika sosoknya berjalan menyusuri ruang tunggu, baru kusadari kalau penampilannya sangat kacau. Kemejanya yang biasanya terlihat licin kini berantakan, rambutnya juga acak-acakan. Yang paling membuatku khawatir adalah wajahnya yang terlihat pucat pasi.

“Pagi Mas Riki, Frans!” sapanya pelan. Napasnya berat dan pendek-pendek.

“Pagi, Dok!” balas Mas Riki ringan seakan tak menyadari keadaan Dokter Adam yang sedang sakit. Aku sengaja tak membalas sapaanya, melainkan terus memandang wajah Dokter Adam tajam.

Dokter Adam terlihat menyadari bahwa dirinya sedang kupandangi, seketika sikapnya terlihat kikuk dan dia segera bergegas menuju ke kantornya. Menyebalkan.

Tiba-tiba sebuah ide yang sangat cerdas terpikir olehku. Bergegas aku ke arah pantri, memasak air panas untuk menyeduh segelas susu kental manis untuk sang Dokter. Tak sampai sepuluh menit, segelas susu hangat sudah dapat kuhidangkan. Dengan hati-hati kubawa segelas susu tersebut menuju ke ruangan Dokter Adam.

“Buat siapa, Frans?” tanya Mas Riki ketika aku melewati mejanya.

“Ah! Ngg… I-ini… Bu-buat Dokter,” jawabku gugup. Mas Riki yang jail segera saja meledekku.

“Cieee… Buat suami tercinta, ya?”

Kupingku panas mendengar ledekannya, aku semakin mempercepat langkah untuk segera sampai ke kantor Dokter Adam. Ketika sampai, kuketuk pintu dihadapanku.

“Masuk!” seru suara dari dalam. Setelah mendapatkan izin, kubuka pintu dengan perlahan, kulongokkan kepalaku sedikit untuk melihat seseorang yang ingin kukunjungi.

“Frans, ada apa?” wajahnya yang pucat terlihat lebih cerah ketika melihat akulah yang datang, atau mungkin aku saja yang terlalu percaya diri?

“Ini, buat Dokter,” ujarku seraya menaruh segelas susu diatas meja dihadapannya.

“Ah, terima kasih. Lo harusnya nggak usah repot-repot,” tegurnya pelan, “Gue lagi nggak ingin minum susu rasa lada.”

Ia masih saja bisa meledekku dalam keadannya yang sangat memprihatinkan. Dalam jarak sedekat ini, wajahnya terlihat sangat pucat. Bibirnya pun tak semerah biasanya. Aku juga bisa melihat butir-butir keringat dingin di dahi dan lehernya.

“Lo sakit.”

Ia tersenyum ketika aku selesai bicara.

“Memangnya Dokter nggak boleh sakit?”

“Ngg… Iya sih…” jawabku, merasa konyol karena lagi-lagi dikerjai, namun aku tak menyerah begitu saja, “Kok bisa?”

“Mau tau ajah urusan orang,” ujarnya seraya berdiri serta mengacak-acak rambutku lembut, “Sudah sana bantuin Mas Riki ngelayanin pasien. Kasihan dia sendiri di depan.”

Ia tersenyum dengan hangat lalu segera memakai jas putihnya yang biasa.

Aku makin merasa kesal karena akhirnya tidak mendapatkan jawaban padahal sudah bersusah payah membuatkannya segelas susu. Dasar bedebah.

Aku yang berniat pergi saat itu juga, tiba-tiba mempunyai ide untuk mengerjai dokter songong ini. Ketika ia berbalik untuk menyiapakan barang-barangnya, kukorek lubang hidungku. Bingo, aku berhasil mendapatkan sebutir upil yang lumayan besar. Ketika upil itu hampir jatuh ke dalam susunya, Dokter Adam berbalik dan berkata kepadaku.

“Mungkin karena kurang istirahat dan kurang makan. Gue kan tinggal sendiri,” jelasnya kepadaku.

“Ah, ngg… Begitu… Gue boleh menginap malam ini?”

Kulihat ia sama terkejutnya denganku. Ia tak segera menjawab permintaanku yang kulontarkan saat sedang tak sadarkan diri. Aku memanfaatkan diamnya dia untuk menarik kembali tawaranku.

“Eh… Kalau memang tak bisa, ya tidak apa-apa, Dok. Gue memang sudah ada janji sebelumnya,” jawabku sudah pasti bohong. Kurasa Dokter Adam tahu kalau aku sedang berbohong, ia tersenyum jail, kemudian membantah.

“Ah tidak, tidak apa-apa. Jadi malam ini lo nginep di rumah gue, ya?”

Aku bisa apa setelah ia memaksaku dengan cara yang halus seperti itu, menggunakan tatap matanya untuk mengintimidasiku.

“Oh iya, satu lagi,” ucapnya seperti teringat sesuatu kemudian berjalan kearahku, “Terima kasih untuk susunya sekali lagi. Tapi…”

Kemudian ia mengunci kepalaku dengan gesit dan meraih segelas susu tersebut lalu memaksaku untuk meminumnya.

“Gue nggak suka susu campur upil.”

Dan kurasakan sesuatu yang asin di tengah rasa manis susu di mulutku.

***

Sepanjang sisa hari itu aku mengutuk Dokter Adam, berharap kepalanya dijatuhi kotoran burung flaminggo, ataupun diserbu jutaan tomcat. Rasanya ingin kucekik lehernya. Bedebah.

Pekerjaanku hari ini terasa tidak ada habis-habisnya, sedari pagi para pasien berdatangan. Namun untuk saat ini pasien hampir tidak ada, membuatku mendapatkan kesempatan untuk menarik napas sejenak.

Mas Riki sudah tidak ada, ia segera kabur setelah mendapatkan izin untuk pulang lebih awal karena katanya sedang diadakan ujian di kampusnya. Aku tahu itu semua bohong, pasti ia sekarang sedang menjemput pacarnya untuk malam mingguan bareng.

Kuperhatikan kerjaan Dokter Adam juga tidak ada habis-habisnya, wajahnya terakhir kali kulihat lebih pucat dan lebih terlihat kelelahan dibanding tadi pagi. Aku berharap semoga beliau cepat sembuh. Lagipula jadwal prakteknya sebentar lagi selesai dan akan digantikan dengan dokter yang lainnya.

Aku sedang duduk malas-malasan di kursiku, memikirkan keadaan Dokter Adam ketika tiba-tiba suara yang keras bedebum memekakkan telinga. Orang-orang yang lalu lalang di jalanan di depan klinik berlari ke arah jalan raya. Kuduga pasti ada yang kecelakaan.

Seperti deja vu, kulihat orang-orang sedang bergegas menuju klinik. Mereka berbondong-bondong menggotong sesosok tubuh lelaki yang bersimbah darah.

Ketika orang-orang itu melewatiku, aku benar-benar seperti melihat deja vu. Aku mendengar rintihan lelaki tersebut. Mataku melihat tubuhnya yang banjir dengan darahnya sendiri. Kulitnya sobek pada bagian lututnya, tangannya patah dan bengkok ke arah yang janggal. Beberapa kuku kakinya lepas. Keadannya sangat parah.

Oh, Tuhan.

“Ada ap—? Astaga!” seruan Dokter Adam dari dalam terdengar hingga ke tempat aku berdiri terpaku.

Dokter Adam.

Mengetahui Dokter Adam sekali lagi harus berjuang sendiri mengurus si korban membuatku tersadar. Keadaan dokter sekarang sangat mengkhawatirkan, ia bisa ambruk kelelahan kapan saja, apalagi beliau harus mengobati korban tanpa bantuan karena sekarang sudah tidak ada orang lagi di klinik selain aku dan dokter. Dokter Dion juga masih belum datang.

Aku bingung. Takut.

Tiba-tiba muncul Dokter Adam dari ruang periksa, sesaat matanya mencari-cari liar, dan ketika ia menemukanku, sorot khawatir di wajahnya terlihat jelas.

“Jangan masuk!” larangnya dengan suara yang lemah. Wajahnya semakin pucat kulihat.

Kenapa aku bisa sejahat ini? Disaat ia sedang sakit dan berkewajiban menyelamatkan nyawa seseorang, ia masih tetap mengkhawatirkanku. Ia bahkan mengecek keadaanku sebelum mengurusi hal lain. Aku lah yang diutamakan.

Kenapa aku bisa seegois ini? Tega membiarkan orang yang kusayangi berjuang sendirian.

Tidak! Untuk saat ini aku takkan membiarkannya berjuang sendirian. Kali ini aku harus menjadi sosok yang dibutuhkannya. Sedikit demi sedikit kurasakan keberanian muncul di dadaku, merambat ke sekujur tubuh, membuatku mampu melangkahkan kakiku ke arah pintu yang dilarang kubuka oleh Dokter Adam.

Keadaan di dalam agak kacau, Dokter Adam berkali-kali memerintah beberapa orang yang tinggal untuk membantunya mengambilkan alat-alat yang diperlukan. Orang-orang yang diperintahnya tak tahu menahu letak barang yang dibutuhkan, oleh karena itu Dokter Adam perlu meneriakkan beberapa instruksi tambahan yang kulihat mengganggu konsentrasinya dalam menangani korban.

Kudengar ia membutuhkan aspirin untuk membius korban. Dengan bergegas walaupun kepalaku terasa pening, aku mengambil apa yang dokter maksud di dalam lemari di sudut ruangan, bersama-sama dengan alat suntiknya.

“Ini, Dok,”

Dokter menerima begitu saja barang yang kuserahkan tanpa melihat ke arahku, sedetik kemudian ia mendongak dan melihat wajahku dan serta merta menyuruhku keluar.

“KELUAR!!!”

Mendengar nada suaranya yang keras dan kasar membuat nyaliku ciut, namun tak mematikan niatku untuk membantunya.

“Gue bakal bantu,” ujarku keras kepala.

Dokter Adam terlihat bimbang, namun apa yang bisa dia lakukan? Kutahu ia sangat membutuhkan bantuanku disini. Ia tak mungkin menolakku.

“Kalau lo sampe nyusahin gue, gue tendang lo keluar,” ucapnya pelan, mengancam, “Paham?”

Aku tak mengucapkan apa-apa dan hanya memandang matanya lurus-lurus, berusaha terlihat yakin. Dokter Adam kemudian memalingkan wajahnya dan kembali berkonsentrasi untuk memberikan pertolongan pertama terhadap korban.

“Ambilkan gendongan!” perintahnya.

Aku harap, kakiku akan mampu membuatku tetap berdiri  tegak untuk beberapa saat kedepan.

***

Selesai.

Mimpi buruk ini akhirnya selesai.

Korban kini sudah dibawa dengan ambulans menuju rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut. Dokter Dion yang baru saja datang beberapa saat lalu menawarkan diri untuk menemani sang korban. Ini bagus karena Dokter Adam sudah ngotot memaksa untuk menemani walaupun sudah terlihat sangat-sangat lelah. Kami berdua memandangi kepergian ambulans dengan diam.

Ketika ambulans itu sudah tak terlihat lagi, kudengar Dokter Adam menarik napas lega, aku memandangnya dan melempar senyum yang dibalas seketika itu juga oleh Dokter Adam.

Aku tahu ini bukanlah saat yang tepat, ketika kami sama-sama lelah dan getir, tapi apalagi yang kupunya sekarang?

Dengan pelan aku berkata padanya…

“Gue sayang lo…”

Kemudian semuanya gelap.

***

Aku membuka mata dan disambut oleh gulita.

Gelap, namun ada cahaya bulan yang menerobos masuk lewat jendela. Dengan cahaya yang seminim itu, mataku mencoba mengenali tempat dimana aku sedang berbaring. Ini semua terlihat tak asing.

Kurasakan sesuatu yang keras menjadi bantal tidurku, aku bergerak menyamping sedikit untuk melihat lebih jelas, namun ada sesuatu yang menahanku.

“Jangan…” bisik sebuah suara.

Ahh, aku mengenali suara ini.

“Semua terasa benar saat ini,” lanjutnya sama pelannya, “Gue nggak rela kalau lo bergerak sekarang, semua mimpi ini akan usai dan menghilang.”

Aku mengabulkan permintaannya. Aku tetap diam tak bergerak dalam pelukannya, merasakan hembus nafasnya yang hangat di wajah dan rambutku.

“Sudah lama gue nggak pernah merasa sebahagia ini.”

Ia tak berbicara lagi untuk waktu yang lama. Kini tubuhku mulai terasa sakit dan kaku karena tetap diam dalam keadaan seperti itu. Aku bangun, menopang tubuhku dengan tanganku. Ia mendesah kecewa namun aku memukul kepalanya.

“Aduh!”

“Ini bukan mimpi, bego,” ucapku pada akhirnya.

“Gue bermimpi kalau lo mengucapkan ‘sayang’ ke gue,” bantahnya keras kepala. Kata-katanya membuatku teringat dan merasa malu. Untunglah keadaan disekitaku sedang temaram dan karenanya Dokter Adam tak mungkin melihat wajahku yang memerah.

Dalam temaram sinar bulan, aku mampu melihat siluet wajahnya yang kini terukir senyum. Disaat seperti ini aku kembali bertanya kepada hatiku sendiri, apakah ini benar-benar cinta?

Dan ketika ia bangkit dan mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, ia menciumku.

“Gue juga sayang sama lo.”

Dan aku merasa sangat tolol mengumbar pertanyaan yang jawabannya telah ada di hadapanku.

***

The End

22:57

Zen Ashura

***

Plus-plus Scene

Ahh, nikmat yang kurasakan kali ini membuatku bagai melayang ke langit ke-tujuh. Melihat sosoknya dalam gelap, yang berada beberapa senti di bawahku membuatku semakin bergairah. Aku tak menyangka bisa melakukannya dengan dia yang kucinta.

Disaat seperti ini aku malah mengingat pertemuanku pertama kali dengannya. Ia yang menggangguku seperti anak kecil membuatku hampir emosi. Wajahnya yang kala itu meniupkan desir-desir gairah di hati, tak dapat kulupakan.

Entah jodoh atau hanya permainan semesta, kita bertemu lagi. Ditempatku bekerja, sosoknya terlihat begitu pilu namun menggemaskan. Aku balik mengerjainya kali ini, merasa lebih superior.

Aku merasa begitu jahat karena pada awalnya akulah yang memutar otak memikirkan bagaimana caranya agar dia dapat kumiliki. Seperti serigala brengsek aku mendamba hangat tubuhnya. Hal yang tlah lama tak kumiliki. Salahnya lah yang datang dan meniupkan kembali api-api birahi yang sempat padam.

Aku berusaha mati-matian mengacuhkannya, menyesali dengan segenap jiwa tawaranku padanya yang kini membuatku harus hidup kucing-kucingan dengan gairah.

Entah kapan atau bagaimana, aku tlah jatuh cinta dengan sosoknya. Mereka bilang cinta datang begitu saja. Mungkin benar.

Atau mungkin juga tidak.

Mungkin matanya yang hitam yang selalu menyorotkan sinar jail yang membuatku jatuh sedalam-dalamnya. Atau mungkin senyumnya yang polos yang mampu memikatku dan melupakan semesta raya disekelilingku. Atau mungkin hanya karena dia adalah dia. Dan aku jatuh cinta karenanya.

“Kok berhenti?”

“Ada rambutnya,” jawabnya polos.

Aku tak mampu menahan tawa yang keluar dari mulutku, begitu geli aku dibuatnya, begitu bahagia.

Kuangkat dia lalu kupeluk, merasakan detak jantungnya diatas jantungku. Melebur detak dalam detik. Kulepaskan pelukanku, kutatap matanya dalam-dalam. Melihat sorot matanya yang penuh rasa heran, membuatku makin mencintainya.

Kucium bibirnya dengan cinta. Kucumbu tubuhnya dengan sayang.

Malam ini terasa lebih membara dibanding malam-malam yang lain.

Leave a comment